El Hanager

20:00
Art Summit V 2007

International Festival on Contemporary Performing Arts

El Hanager
Mohammad Abou El Soud
(Egypt)
134-15 November 2007

Gedung Kesenian Jakarta
Jl. Gedung Kesenian No. 1 Pasar Baru
Jakarta 10710
T 380 8283
F 381 0924
tu@gkj-online.com

Teater El Hanager dari Mesir
Menyuarakan Antiperang lewat Panggung Teater

JAKARTA – Ada perlawanan antara tradisi dan nilai baru pada masyarakat modern. Itu juga yang terjadi dalam masyarakat Mesir. Narasi inilah yang ingin diangkat Teater El Hanager pada naskahnya yang berjudul Aqnea Aqmesha wa Massaer (Topeng, Baju dan Nasib) karya seniman Irak yang tinggal di Uni Emirat Arab, Kassem Muhammad.

Kassem dalam narasinya mengangkat Irak pada masa lampau yang terlibat dalam perang dua kali berturut-turut sehingga mengakibatkan kerusakan dan pembunuhan yang memakan korban jiwa juga teror. Oleh sutradaranya, Hany El-Metennawy, cerita ini memang dikembangkan menjadi kisah yang mengutuk nafsu untuk berkuasa dan saling membunuh, sebuah godaan manusia sejak awal diciptakan.
Perdamaian dipertanyakan dan itu meruncing baik dalam monolog puitik (mulai dari karya penyair misalnya T.S. Eliot - Inggris, Rabindranath Tagore - India, Abou Hayan al Tawheedy – Iraq), atau berupa dialog antarpemainnya.

Dalam pertunjukan ini ditampilkan juga figur orang muda dengan latar perang. Dengan memunculkan sosok dewi di panggung kanan atas atau pun di latar panggung, yang tiba-tiba muncul dari sorotan cahaya, memperingatkan orang soal nasib yang harus diterima mereka karena keserakahan dan kelemahan manusia. Momen ini diisi penuh dengan sorotan cahaya lampu yang khas, menghasilkan bloking panggung dengan dunia imajiner berupa penataan perangkat panggung yang menarik.

Panggung memainkan sisi gelap terang selain terpaan warna. Saat lampu menyorot sudut-sudut tertentu, sudut lainnya tetap dapat terlihat. Saat kru panggung mempersiapkan adegan lain—bahkan ada adegan mengangkat perangkat panggung atau sorotan lampu pada layar untuk mendapatkan efek siluet pemain yang dimunculkan, penonton juga masih bisa melihatnya. Lampu menyorot secara bergantian antara pemusik Abu Bakr El-Sherif yang memainkan drum di sebuah adegan pertempuran yang dilakukan oleh ikon-ikon catur. Pemusik jadi hadir sebagai ”aktor” di panggung.

Ada simbolik perempuan yang bermain dengan burung-burung, ada peperangan antar-”kepala ikon catur”, ada yang terjaring jerami, ada yang ditahan dalam kotak jeruji, dan ada aktor yang bermonolog, setelah kemunculan Teiresias, seorang ahli ramal tertua (yang ada dalam mitologi Oedipus), tentang guratan manusia. Semua adalah kesedihan dan teriakan, sebab tak ada lagi cinta atau pun keluguan. Maka, sebuah pasangan pun terpisahkan, semua tempat telah berubah menjadi kuburan bagi yang mendambakan perdamaian.

Perang dan Damai
Teater El-Hanager, yang diisi oleh banyak aktor muda, merupakan salah satu agenda pertunjukan Art Summit. Hal ini ditampilkan secara abstrak dengan memperlihatkan sosok lelaki dan perempuan muda modern berkostum, sementara ”masyarakat klasik” yang dihadirkan sebagai representasi dongeng dengan kostum ”kepala binatang” tadi.
Para pemain masa klasik, dimunculkan dengan kepala binatang gajah, kuda dan lain-lain dengan warna yang menyolok antara lain hijau, merah dan biru. Sutradaranya, mengatakan bahwa figur ”fabel” ini diambil dari simbol tentang catur, yang menunjukkan bentuk kekuasan kerajaan di masa lampau.

Sekalipun bisa dilihat sebagai durasi warna, warna dasar pada kepala binatang pada aktor ini memang sangat kontras apalagi bila dibandingkan dengan pementasan teaternya yang cenderung menampilkan warna setting yang hitam dan putih.

Bagaimanapun, inilah maksud dari simbol ini. Dunia merupakan saluran tak berakhir, bak penjara dan kuburan besar. Ada permainan catur yang mematikan berupa medan perang yang dashyat oleh makhluk yang gemar berperang di mana manusia menjadi setengah binatang.
Dengan bahasa Mesir, pementasan ini memang menyulitkan interpretasi para penonton untuk mengerti dialognya secara lebih gamblang, apalagi ada dialog perang, dialog tentang perdamaian, monolog puitik, hingga perbenturan kultural antarkekinian dengan perang yang telah ditimbulkan oleh ”dunia lampau”.

Dengan sorotan lampu yang khas (tata cahaya oleh Abu Bakr El-Sherif), dan perangkat panggung tadi, masih ditambah dengan musik yang mengiring percakapan yang meninggi dan suasana adegan peperangan, terlihat auranya bagi penonton.

Namun, di luar bahasa yang tak bisa diterjemahkan, gerak dan ekspresi pemain memang tak bisa dimaksimalkan karena pembatasan atribut para pemain yang sangat berlebihan. Selain gerak para binatang yang lebih pada lenggokan – di tengah perangkat panggung baik berupa penjara, level-level dan ”panggung di atas panggung”, para pemain yang bermonolog kerap tak mengeksplorasinya secara maksimal untuk melampaui persoalan bahasa yang jelas tak bisa ditangkap oleh penonton.

Sekali pun demikian, di luar pengaktingan dan eksplorasi perdamaian, cara penuangan naskah dan plot pembabakan dalam narasi ini sangat dieksplorasi menjadi urutan yang kreatif dan mudah dimengerti. Apalagi tema fabel akibat topeng binatang itu menjadi cair dan mengurangi simbolik – hal yang berbeda ketika para tokoh menggunakan topeng kertas berupa wajah.
(Sinar Harapan/sihar ramses simatupang)

0 comments:

Your Ad Here